Mengatasi Stress & Burnout
Jika kamu seorang pekerja kreatif, misalnya programmer, stress adalah bagian dari kehidupanmu sehari-hari.
Artinya pada level tertentu, stress bukanlah masalah yang besar, itu adalah hal yang wajar karena seorang programmer merupakan pekerjaan dengan tingkat pemicu stress yang tinggi.
Yang menjadi masalah adalah jika kamu terlalu stress sehingga kamu kehilangan kendali atas dirimu, kamu kehilangan motivasi, energi untuk menyelesaikan tugas-tugas rutinmu.
Kondisi seperti ini sudah bisa dibilang burnout.
Yaitu kondisi di mana bukan fisikmu yang lelah, tapi kondisi psikismu, mentalmu sangat capek yang mengakibatkan kekosongan, hampa, hilang kesenangan terhadap hal-hal yang normalnya adalah hal yang menyenangkan buatmu.
Seperti halnya stress, burnout pun memiliki level berbeda.
Jika kamu mengalami burnout ringan, mungkin cukup dengan sekadar break atau refreshing sehari dua hari kamu sudah bisa menemukan kembali semangatmu.
Tetapi, jika burnout ringan dibiarkan terus, maka akan sangat berpotensi menuju ke burnout yang lebih parah di mana kamu akan mengalami masa-masa "malas" / kehilangan motivasi menjadi lebih lama dan sulit untuk dihilangkan.
Dan jika tidak berhati-hati, kamu bisa memiliki gejala-gejala depresi ringan.
Burnout adalah masalah besar yang harus ditangani, jika tidak kamu bisa kehilangan banyak waktu dan kesempatan.
Bahaya Burnout Bagi Profesional
Saya sendiri pernah mengalami masa-masa di mana saya sangat kesulitan untuk bekerja, bahkan mengerjakan hal-hal yang tadinya merupakan kesenangan saya.
Sebelumnya saya tidak pernah merasa bosan mengerjakan hobi saya dari pagi sampai malam pun tidak pernah merasa jenuh, tetapi saat burnout level parah melanda, saya benar-benar seperti tidak memiliki gairah untuk melakukannya.
Parahnya, hal itu bukan cuma soal hobi, tetapi juga soal pekerjaan dan tanggung jawab terhadap orang lain, artinya reputasi saya juga sangat rawan tercoreng jika tetap berada pada kondisi seperti itu.
Bahkan saya mengalaminya selama beberapa bulan, jangankan untuk kerja, untuk sekadar menulis seperti tulisan ini saja, rasanya berat sekali, otak tidak bisa diajak berpikir.
Penyebab Stress
Ada banyak penyebab stress tentu saja, beberapa hal yang saya alami terkait dengan burnout terparah saya adalah:
- Mengerjakan hal yang tidak sesuai dengan visi saya (misalnya karena tuntutan)
- Kecemasan berlebih akan masa depan (terutama awal resign + kondisi pandemi)
- Memiliki goal-goal terlalu "tinggi" (tetapi tidak sabar ingin segera tercapai)
- Terlalu banyak hal yang ingin dikerjakan saat ini juga (tidak memiliki "clarity")
Penyebab Burnout
Banyak orang mengira bahwa burnout disebabkan karena terlalu banyak kerja, sebetulnya yang saya rasakan bukanlah karena terlalu banyak kerja.
Karena faktanya ketika kita melakukan hal yang kita sukai, atau hal yang sesuai dengan visi dan goal kita, kita tidak pernah merasa capek dan jenuh dan tidak berujung burnout.
Jadi, yang benar penyebab burnout adalah karena stress yang terus menerus tidak diredam.
Stress ini bisa jadi karena terlalu banyak kerja (yang tidak sesuai dengan visi / goal kita) atau karena alasan lain seperti yang saya contohkan di atas.
Orang yang bekerja sesuai dengan passion rata-rata akan jadi lebih jago daripada yang bekerja hanya karena tuntutan saja karena mereka sangat menikmati mengasah skill mereka dari pagi sampai malam.
Tapi apakah orang yang bekerja dengan passion tidak akan burnout? Tidak juga, tapi beda penyebab stress nya.
Ingat masih ada penyebab stress lain selain bekerja tidak sesuai visi / goal, misalnya dia memiliki goal-goal yang sangat tinggi dan merasa "kok tidak tercapai-tercapai ya?"
Atau karena dia memiliki banyak hal yang "menarik" yang ingin dia kerjakan saat ini juga, tetapi waktu dan energinya terbatas.
Mengatasi Stress & Burnout
Dari contoh-contoh stress di atas, apa yang bisa kita tarik benang merahnya?
Benang merah penyebab stress adalah "EKSPEKTASI".
Stress yang ada dalam diri kita adalah hasil dari ekspektasi yang belum tercapai.
Misalnya, ekspektasi kita adalah kita bekerja sesuai dengan visi kita, tetapi ketika hal itu belum tercapai, stress muncul.
Kita berekspektasi bahwa goal-goal kita -- yang tinggi itu -- harus tercapai secepatnya, selama belum tercapai, stress muncul.
Kita berekspektasi bahwa kita bisa mengerjakan / menyelesaikan projek-projek "menarik" yang banyak itu, tapi karena waktu dan tenaga terbatas sehingga hal itu tidak mungkin tercapai, akhirnya stress muncul.
Dst.
Sebagai analogi, saya sedang melakukan perjalanan dari Pemalang ke Jakarta menggunakan kereta, sebagai orang dewasa saya tahu bahwa perjalanan akan menghabiskan waktu kurang lebih 4 setengah jam (sesuai di tiket).
Karena saya tahu hal tersebut, maka saya bisa menikmati perjalanan dengan tenang, saya tidak khawatir, saya tidak berekspektasi bahwa kereta akan sampai 3 jam, sehingga saya tidak komplain.
Berbeda dengan anak saya yang masih 6 tahun, dia belum paham bahwa lama perjalanan adalah 4.5 jam, sehingga setiap kali dia bosan atau dia akan berkali-kali bertanya, kok belum sampai? sampainya kapan? mau turun, dll. Karena ekspektasi dia perjalanannya sebentar saja di dalam kereta.
Jadi untuk menghindari stress, kamu harus menunrunkan ekspektasimu terhadap apapun.
Bukan menjadi realistis ya, beda, karena seringkali "realistis" dijadikan alasan bagi orang yang tidak mau berusaha lebih keras untuk mencapai visi hidup yang lebih baik.
Kamu tetap memiliki visi hidup yang baik, tetapi fokus pada menikmati langkah demi langkah menuju ke sana, tanpa ekspektasi harus tercapai segera atau bahkan tanpa ekspektasi bahwa hal itu akan tercapai.
Sehingga kamu bisa lebih tenang menjalankan proses yang akan mengantarkanmu ke visimu.
- Ketika ternyata visimu tercapai (kamu akan sangat senang, karena ternyata hal itu di atas ekspektasimu.)
- Ketika ternyata visimu tidak tercapai (kamu akan tenang, karena ya itu sesuai ekspektasimu di awal)